It's really Me Yeahh..

Foto saya
Padang, Sumatera Barat, Indonesia
Seorang yang mungkin menurut orang lain gak pernah jelas maunya apa, sukanya apa, bahkan ada yang bilang saya suka asal, namun saya pikir mereka yang aneh, beruntung saya berada ditengah keluarga yang selalu membanggakan ke"unik"an ini. Sehingga saya tak perlu merasa risih dengan apa yang saya punya...hal yang paling tidak saya suka adalah menyesal, karena menyesal hanya akan membuat kecewa dan marah, so yang terjadi yah udah ajah terjadi, yang akan datang yang harus di'nikmati'...saya termasuk orang yang cukup ramah meski susah akrab dengan orang lain, tapi jika kita udah klop..jangan tanya saya bagaimana membuat anda jadi gila huehehehe...artinyaaaa...kalian siap siap merindukan aku setiap saat hahahaha...narsis..itu pastiiii...karena aku harus menyukai diri sendiri dulu baru bisa menyukai orang lain..setuju setuju??? so welcome to my world!!!

Minggu, 20 Februari 2011

Kendi akan Ke Jakarta


Sudah lama aku tak melihatnya, terakhir kami bertemu ketika aku selesai OSPEK masuk salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Sore itu dia menjemputku dari kampus baruku, karena memang aku memintanya...seluruh baju dan sepatuku yang berwarna putih berubah warna menjadi coklat karena mengikuti kegiatan OSPEK ditengah lapangan yang berlumpur akibat hujan malam sebelumnya.
Sebelum sampai dirumah dia mengajakku mampir untuk makan bakso, agak aneh memang...dia tak pernah suka bakso, tapi aku juga lapar maka aku mengangguk tanda setuju.
Tak lama kami selesai ngebakso lalu melanjutkan rencana pulang karena senja sudah semakin dalam, dan aku juga tak sabar ingin segera mandi.
"Aku akan ke Jakarta Minggu ini" katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan lurus didepan sambil memegang setir. Aku yang menolehnya, meyakinkan ini hanya cadaan...tapi aku juga sangat tau dia, candaan type begini bukan modelnya.
"Ngapain? Kok dadakan?" tanyaku sedikit menggeser badan menghadapnya.
"Rumah sudah gak asyik, si Uda bersama istri dan anaknya akan tinggal di rumah, si Ida juga akan menikah...tentunya juga akan tinggal dirumah". Aku berteman baik juga dengan adiknya Ida, tapi Ida tak pernah cerita kalau dia akan menikah. Aku terbayang bagaimana dia yang jadi anak tengah tinggal dirumah itu, dengan ibunya yang selalu ngoceh dan nanyain dia kapan menikah, secara usia dia memang masih relatif muda, saat itu dia sudah berusia 25 dan aku berusia 18tahun. Seperti biasa, ibu akan selalu nanyain hal begituan jika kondisi kesehatannya agak terganggu. Dan dia selalu jengah dengan pertanyaan itu.
Kendi adalah teman baikku, teman yang sederhana tapi entah kenapa mempunyai aura untuk aku patuhi, mungkin karena dia juga tak pernah memberi contoh buruk dihadapku, teman yang selalu sopan, sedikit pendiam tapi punya sangat banyak kawan, teman yang aku selalu salut dengan kejujurannya, teman yang tak banyak menuntut tapi selalu berusaha dengan gigih. Teman yang tak pernah mau kuajak kerumah dengan alasan "Nanti mama kamu nanya, kok kamu punya teman yang sudah tua seperti aku?" padahal aku tau, mungkin dia tidak percaya diri masuk ke rumahku.
Kendi...begitu aku selalu memanggilnya, meski terpaut usia jauh denganku tapi aku tak pernah memanggilnya Uda atau Abang,melainkan ke semua temannya aku selalu memakai tutur sebutan Uda atau Abang itu. Pernah dia protes, "Kamu kalo ke teman aku selalu pakai kata abang atau uda, kok ke aku gak pernah?" lalu aku jawab asal "maless, gak pantes ajah, aku punya uda atau abang kayak kamu". "Lho jadi pantesnya apa?" tanyamu masih dengan nada protes."Ya jadi kendi, kamu tau kendi kan? ya kayak gitu?" aku kehilangan kata-kata sebenarnya untuk memberi penjelasan bahwa aku gak suka kalo tiba2 aku menggilnya abang atau uda lalu kami seperti oleh terpaut usia yang sangat jauh lalu akan jadi sama2 sungkan.
Kendi adalah temanku yang selalu menguatkan aku ketika aku bercerita tentang suasana galau dirumah, seburuk apapun suasana dirumah yang aku ceritakan, dia tak pernah menyalahkan ayah atau ibuku, Kendi yang selalu menghilangkan takutku ketika aku dikejar amukan ayah atau pun ibuku, Kendi yang selalu berhasil membuatku riang selalu setiap aku pulang ke rumah setelah aku bersamanya.
Kendi juga yang menguatkan aku untuk harus tetap lanjut kuliah, ketika lulus SMU aku bilang aku ingin menikah, malas kuliah, aku ingin menyerahkan jiwa dan ragaku untuk suamiku kelak, mengurus anak-anak kami, mempersiapkan sarapan lezat buatnya, menunggunya pulang kerja dengan wajah sumringah lalu sesekali liburan keluar kota.
Tapi Kendi yang dengan semangat mengantarkan aku pergi mendaftarkan diri ujian UMPTN, ikut antrian panjang banget ketika memulangkan formulir pendaftarannya. Kendi juga yang memaksa aku untuk ikut bimbingan test masuk Universitas Negeri, meski sejujurnya dari sebulan paket yang ditawarkan aku hanya 2kali ikut kelasnya. Kalo saja Kendi punya waktu mungkin dia juga akan mengantar dan menjemputku ikut kelas itu, tapi saat itu dia sibuk. Hingga sehari sebelum pengumuman kelulusan UMPTN itu dia juga yang bilang "Kamu pasti lulus, nanti jam 11 malam aku pasti udah bisa tau nama-nama lulusannya" katanya yakin tapi santai. Aku cuma bilang "Ya lulus, tapi belum tentu aku mau kuliah yaa..."sambil menggigit ujung sehelai rumput yang kutarik ketika berjalan ditengah sawah ayahnya.
Sebelumnya dia juga telah memaksaku untuk ikut tes ujian masuk D-III, katanya..."siapa tau kamu mau kuliah lebih singkat, hanya 6 semester bukan 8 semester, supaya gak terlalu bosan". Aneh memang, aku menuruti semua yang dia sudah atur untuk kuliahku, padahal hingga selesai mendaftar ulang sebagai mahasiswa baru ditemaninya pun aku masih tak ingin kuliah.
Kendi yang menemani aku mempersiapkan segala sesuatu persyaratan mengikuti OSPEK itu, hari pertama dia mengantarku, tapi kakak senior malah bilang mulai besok tak boleh diantar maupun dijemput lagi, harus naik bis arah ke kampus itu.
Seminggu OSPEK aku selalu capek, kegiatannya sampai jam 5 tapi harus ngantri nunggu bis yang selalu sesak kadang sampai dirumah sudah maghrib, dan aku selalu menelepon Kendi cerita tentang apa ajah yang ada di kampus, yang ada dia malah ngeledek "Gimana? masih mau kawin? gak mau kuliah?" dan akan diakhiri dengan tawa kecil berbunyi ejekan.
Sekarang hari Jumat, hari terakhir OSPEK, Senin aku akan mengikuti kuliah pertamaku, lalu akan resmi menjadi mahasiswa seutuhnya. Tapi hari Minggu Kendi akan pergi, meninggalkan aku, perlahan air mataku menetes, aku mulai sesenggukan. Membayangkan aku akan sendiri, ketika rumah tak lagi nyaman, ketika aku ingin makan siang ditengah sawah ayahnya, ketika aku ingin menatap Kota Padang dengan kerlip lampu malam di atas Bukit Panorama sambil makan jagung, ketika laut menjadi menyenangkan dari bukit di Bungus sana. Aku kehilangan, tapi aku juga tak tega untuk menahannya tetap bertahan disini.
Aku tak berkata apa-apa, hanya diam saja dan dia tetap nyetir dengan laju kendaraan yang terseret disengaja. Aku masih belum bisa berkata apa-apa, meski banyak yang ingin aku ucapkan, banyak terima kasih tentang ketulusannya selama ini, terima kasih untuk bahu yang selalu bersedia aku tumpangi itu, tentang tangan yang selalu mengulurkan saputangan untuk mengusap airmataku, tentang senyumnya yang selalu ikhlas, tentang banyak nasihatnya, tentang pribadinya yang selalu jujur yang aku sangat kagumi, dan aku yang akan sangat kehilangannya.
"Ehm...besok aku ke Solok, pagi banget jam 9 aku sudah berangkat. Karena aku berangkat dari sana dengan sepupuku. Bermalam dirumah Maktuo lalu lusa langsung ke Jakarta" lalu jeda sebentar."Yeeeee....sudah mahasiswa kok masih cengeng sihh?" katanya lagi mencoba mengajakku tertawa sambil mengulurkan saputangan dari sakunya, selalu begitu. Tapi candaan itu tak lucu sama sekali."kalo kamu ke Jakarta kasih kabar ya, nanti kita ketemuan disana, karena bisa jadi aku takkan pulang ke Padang untuk jangka waktu lama, kecuali ada hal penting". Akhhh aku semakin benci duduk berlama-lama dimobil ini. Aku sebel luar biasa, menangis sejadinya, diam seribu bahasa. Rumahku semakin dekat, aku gugup...karena tak mungkin aku pulang kerumah dengan mata sembab, nanti orang-orang dirumah malah jadi mikir aneh-aneh. Cepat aku mengusap airmataku, bersikap sewajar mungkin, meski aku sebenarnya masih tak ingin pulang, masih harus ngomongin sesuatu ke dia agar aku lega. Tapi halaman rumahku semakin terlihat, aku hanya pasrah. Sampai di depan halaman rumah, aku mengajukan pertanyaan sebelum turun, "Kendi, boleh aku ikut saja denganmu ke Jakarta, aku ingin menikah, menikah denganmu saja, aku janji aku akan selalu ikut denganmu..." (-bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar